Kisah Sukses Tiga Srikandi Bisnis


Kisah Sukses Tiga Srikandi Bisnis

Dibawah ini adalah cerita yang saya sukai, tentang perjuangan 3 wanita dalam mencapai posisi puncak di perusahaan masing-masing dengan rintangan yang tidak mudah. Mereka tetep berusaha dan pantang menyerah dalam menjalani proses yang kadang membosankan dan menjengkelkan. Baiklah kita simak cerita mengesankan ini yang ditulis oleh: Prih Sarnianto

Cerdas, gesit dan bertekad baja, tiga perempuan profesional dari tiga latar belakang budaya berbeda sukses menempati posisi tertinggi di perusahaan akbar. Apa rahasia sukses mereka?

Ursula M. Burns adalah sebuah tonggak sejarah. Dia bukan saja perempuan kulit hitam pertama yang menduduki kursi CEO di sebuah perusahaan Fortune 500, melainkan juga CEO perempuan pertama yang menerima tongkat kepemimpinan dari seorang CEO perempuan.

Akan tetapi, Burns tak merasa perlu berlama-lama merayakan suksesnya yang luar biasa itu. Hanya dalam bilangan hari setelah namanya diumumkan sebagai CEO Xerox Corporation pada 21 Mei 2009, dia sudah terbang ke Eropa. Selama sebulan penuh, kelahiran 20 September 1958 itu berkeliling menemui para eksekutif kunci di mancanegara ”yang menyumbang 50% lebih penjualan Xerox ” guna mengatur strategi untuk merebut kembali hati pelanggan.

Setelah itu, 30 Juni 2009, atau sehari sebelum resmi dilantik jadi CEO, Burns menemui Lynn Blodgett, CEO Affiliated Computer Services (ACS), di sebuah tempat yang dirahasiakan di Dallas, buat menjajaki kemungkinan pengambilalihan kampiun business process outsurcing itu. Hasilnya: pada 28 September, atau belum lagi 100 hari menjadi eksekutif puncak, dia sukses meluncurkan akuisisi terbesar dalam sejarah Xerox.

Pengumuman akuisisi senilai US$ 6,4 miliar itu sempat membuat nilai saham bersimbol XRX anjlok 15%. Kendati demikian, kedudukan Burns tak goyah. Dengan lebih dari 96% pemegang saham Xerox dan 86% pemegang saham ACS mendukung langkahnya, pencaplokan tersebut berjalan mulus pada 10 Februari 2010.

Akuisisi ACS menunjukkan visi besar seorang Ursula Burns: membawa Xerox ke bisnis jasa. Dia melihat, semua pemain besar industri teknologi ”IBM, Hewlett-Packard, Dell, bahkan Apple, yang semuanya berkibar di posisi terhormat jajaran America Most Admired Companies versi Fortune” mumpuni di bisnis jasa.

“Harga produk turun dan akan terus turun” ujarnya. Para pelanggan, terutama yang besar, juga tak memperlihatkan tanda-tanda akan meningkatkan demands mereka terhadap peralatan teknologi. Mereka menunda upgrades, karena biaya meningkat sementara peluang meraup pendapatan yang lebih besar tampak menipis.

Di pasar enterprise technology yang semakin mature, pelanggan korporasi makin banyak melakukan alih daya untuk pengelolaan sistem yang kian kompleks, dan menyerahkan pekerjaan-pekerjaan administratif ke perusahaan penyedia jasa yang terpercaya. Akuisisi ACS yang spesialis alih daya pekerjaan back-office yang sangat paper-intensive itu memungkinkan Xerox yang hanya penjaja peralatan dan jasa cetak (termasuk fotokopi) dengan pendapatan US$ 16 miliar langsung bermetamorfosis jadi spesialis layanan informasi terpadu dengan pendapatan US$ 22 miliar.

Dalam menawarkan layanan yang lebih luas tersebut, Xerox sekaligus juga dapat meningkatkan pendayagunaan, kalaupun bukan penjualan, produk dan teknologinya. Dan pasar captive buat peralatan cetak Xerox barulah semacam appetizer. Sebab, kampiun industri ini pun bisa menawarkan teknologi canggihnya.

Sebagai contoh, Xerox memiliki teknologi character recognition yang dapat digunakan oleh ACS yang mengelola Zpass, sistem pembayaran jalan tol di Pantai Timur, buat membaca secara digital nomor pelat mobil kendaraan yang melanggar ketektuan di jalan tol dan menerbitkan surat tilang. Teknologi lain yang dapat diberikan Xerox adalah otomatisasi proses, sehingga mengurangi penggunaan kertas dan mendongkrak margin yang saat ini saja sudah cukup tinggi, 10%.

Yang lebih cantik, di antara keduanya juga ada sinergi pasar yang luar biasa, karena ACS menangguk 92% pendapatannya dari dalam negeri. Di sini, Burns yakin, barisan tenaga penjuaan Xerox akan bisa membantu ACS melebarkan sayap bisnisnya ke Eropa, sebuah pasar yang tak kalah gemuk ketimbang Amerika Serikat, di mana Xerox punya nama besar (dan ACS hampir tak dikenal).

Burns memang punya visi besar, dan tentu saja tekad kuat plus kesediaan bekerja keras buat mewujudkannya. Ketika The New York Times menanyakan siapa yang paling berjasa membentuknya jadi seperti itu, tanpa ragu dia menjawab, 150% ibu saya. Ibu saya itu orang yang pragmatis, fokus dan sangat, sangat praktis. Dia itu orangnya sangat berdikari, self-determining.

Diasuh oleh orang tua tunggal, ibu adalah segalanya bagi Burns. Di Baruch Houses, tempat mereka tinggal, Olga sang ibu mengawasi ketiga anaknya sambil bekerja mengasuh anak titipan dan menyeterika pakaian tetangga. Baruch Houses adalah apartemen murah yang dibangun New York City Housing Authority di kawasan kumuh Lower East Side, Manhattan, pada 1953.

Burns ingat betul tempat tinggalnya yang terletak di Delancey Street itu berada di tengah lembah kotor, di antara gedung-gedung setengah hancur. Ketika berumur tiga tahun, seorang kakek berusia 76 tahun ditembak mati lima remaja tanggung hanya karena uang US$ 2,60. “Tetangga saya kebanyakan imigran Yahudi, sedikit orang Hispanik dan orang kulit hitam, katanya mengenang.  Tapi, yang bikin kami sama dan sejajar adalah kemiskinan.

Sebab itu, dapat dibayangkan kegigihan Olga yang mampu menyekolahkan ketiga anaknya di sekolah Katolik, bukan sekolah negeri yang gratis. Lebih dari itu, sang ibu berhasil pula membangun rasa percaya diri yang luar biasa.

“Di situ, saya belajar tentang sebuah nilai inti yang sampai saat ini masih saya pegang teguh: dari mana asalmu tak harus berarti siapa kamu” tutur Burns mengenang nasihat ibundanya. “Jangan berlaku seperti kau ini berasal dari got hanya karena kau tinggal di tempat yang betul-betul dekat got”.

Pendek kata, Olga sangat tegas menekankan tanggung jawab. Dia mendorong anak-anaknya untuk, pertama, menjadi orang baik. Dan, Hal kedua yang beliau inginkan, kami harus sukses. Dan nasihat Ibu untuk sukses adalah, Kalian harus memberi, dan dia mengatakan ini setiap kali, lebih dari yang kalian ambil dari dunia ini.

Sang ibu, yang tak sempat menyaksikan Burns berkibar sampai ke puncak di Xerox, juga sangat ngotot mendorong anak-anaknya kuliah. “Kalian haus belajar dan harus punya rasa ingin tahu” kata beliau. “Kalian harus melakukan yang terbaik. Kalian harus perhatikan hal-hal yang bisa kalian kontrol. Jangan biarkan diri kalian jadi korban.”

Di Cathedral High School, Burns yang cerdas dan tekun itu jadi bintang pelajar sehingga para guru yang menyayanginya mendorong gadis muda itu jadi perawat, guru, atau biarawati. Itu adalah karier yang waktu itu biasa diambil oleh seorang perempuan pintar, tuturnya.

Nasihat ibunya untuk sukses itulah yang membuat Ursula muda memilih jalan yang, pada 1960-an itu, tak pernah diambil oleh seorang perempuan seperti dirinya. Dia kuliah di Polytechnic Institute of New York yang terkenal dengan teknik listrik, kimia polimer, dirgantara, dan microwave engineering-nya. Setelah itu, dia ke Columbia University, menyabet gelar master di bidang teknik mesin.

Xerox membantu membayar sebagian uang kuliah Burns, dan pada musim panas 1980 dia magang di kantor Rochester. Maka, selulus dari Columbia pada 1981, dia kembali ke Rochester. Dan ini adalah pilihan tepat. Xerox telah memiliki sejarah panjang sebagai perintis dalam mendorong dan menerapkan prinsip-prinsip kebhinekaan, ekualitas dan fair play.

Memegang teguh nilai-nilai ini, Joseph R. Wilson, Presiden dan putra pendiri Xerox, merekrut talenta terbaik sehingga mampu mentransformasi Haloid Company, produsen kertas foto, menjadi perintis industri mesin fotokopi yang menggunakan kertas biasa, Xerox Corp., pada 1961. Nilai-nilai ini terus dijaga oleh generasi pemimpin Xerox selanjutnya. Tak mengherankan, Burns yang suka bicara apa adanya itu bukan saja tak dipecat, tetapi justru mendapat perhatian sesuai dengan talentanya.

Awalnya, sebagai enjinir, Burns bekerja di bagian yang terkait pengembangan dan perencanaan produk. Pada 1989, ketika diundang ikut sebuah diskusi, dia menyampaikan kritik pedas kepada Wayland Hicks, eksekutif senior yang memimpin pertemuan itu. Burns mengira akan dipecat ketika dipanggil menghadap. Ternyata tidak, dia ditawari menjadi asisten eksekutif. Salah satu tugasnya adalah ikut rapat-rapat penting dan membantu Hicks menyelesaikan pekerjaan manajerial. Di bawah bimbingan Hicks, VP Marketing and Customer Operations, Burns yang baru berusia 31 tahun belajar tentang sisi lain kepemimpinan” tentang bagaimana membuat anak buah merasa nyaman dengan mendengar baik-baik apa yang mereka katakan.

Kendati demikian, sifatnya yang terus terang tak juga hilang. Suatu hari, sebagai seorang asisten yang duduk di pinggir, dia meluncurkan kritik kepada Paul A. Allaire. Anehnya, pada pertengahan 1991 itu dia justru dibajak oleh Allaire dan dijadikan asisten eksekutif sang presiden direktur. Dan, seperti Hicks, Allaire juga memberikan pelajaran agar dia menjadi pemimpin yang lebih efektif. Salah satunya, yang dia ingat betul, “memberikan orang lain credit untuk ide yang sebetulnya bukan dari mereka, tetapi kita tanamkan ke benak mereka, sehingga mereka menjalankannya dengan lebih bersemangat.

Setelah dirasa cukup, Burns dikembalikan ke bagian yang memungkinkannya membangun rekam jejak sebagai team leader di area seperti fax business dan office network printing. Pada 1999, dia dipercaya sebagai VP Global Manufacturing. Nama Burns mulai dikenal, sehingga dia diburu para head-hunter, sementara itu pamor Xerox yang terpuruk segunung utang, US$ 17 miliar, terus memudar. Burns jadi gerah, pada 2000 memutuskan hengkang. Kalau kau keluar, ujar para petinggi Xerox, itu sama saja dengan meninggalkan suami yang sedang sakit. Lalu, yang lain akan menganggap hal itu sebagai tanda bahwa perusahaan ini tak mungkin diselamatkan.

Pada 2000 itu, Burns lalu menerima promosi sebagai VP senior. Lalu, ketika Anne M. Mulcahy yang orang penjualan menjadi CEO, dia dipercaya menangani pembenahan di bidang manufaktur. Untuk membebaskan diri dari beban yang terlalu berat, Burns membantu pemangkasan sekitar 40% karyawan, menjadi 57.100 dari 94.600. Kegiatan produksi dialihdayakan ke Flextronics dan, pada 2007, ditambah pula dengan produk low-end buatan sendiri atau mitra lain sehingga Xerox mampu menjajakan portofolio produk yang lengkap.

Bantuan Burns yang menangani manajemen internal sehari-hari memungkinkan Mulcahy dengan cepat mengubah rapor keuangan Xerox jadi biru. Wajarlah kalau Mulcahy lalu menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Burns. Dan keduanya sepakat, transisi kepemimpinan akan dilakukan dengan cantik.

Seperti CEO baru di General Electric (GE), kampiun industri yang mencetak dengan hati-hati pemimpin masa depannya, Burns sejak awal didorong untuk mengukir sejarahnya sendiri. Sebelumnya, Mulcahy fokus membersihkan neraca dari beban keuangan, memperkuat hubungan dengan pelanggan dan memangkas bisnis komoditas seperti printer desktop, sedangkan Burns membawa Xerox ke pasar yang lebih atas,  antara lain masuk ke bisnis jasa, mengupayakan kontrak yang lebih luas untuk melayani seluruh proses bisnis pelanggan korporat raksasa. Itu sebabnya, bahkan ketika belum dilantik pun, Burns telah dipercaya melakukan pendekatan ke ACS.

Namun, prestasi agaknya bukan faktor tunggal yang membuat Mulcahy percaya penuh pada Burns. Ada satu faktor lain, dan ini lebih penting: mereka berdua telah meniti karier yang panjang di Xerox. Mulcahy sendiri juga harus mendaki tangga karier dari bawah selama 25 tahun sebelum dipercaya menjadi CEO. Dan memang seperti itulah jalan yang harus ditempuh oleh profesional perempuan pada umumnya untuk sampai ke puncak. Simak saja perjalanan karier Irene Rosenfeld atau, di luar AS, Chanda D. Kochhar.

Rosenfeld, misalnya. Kelahiran New York, 3 Mei 1953, ini bergabung dengan General Foods pada 1981, setelah dua tahun mengenal kampiun industri makanan yang menjadi kliennya ketika bekerja di sebuah perusahaan iklan New York, selulus program doktor bidang pemasaran dan statistika di Cornell University. General Foods yang tumbuh besar kemudian mencaplok Kraft Foods Inc. Portofolio produk yang luas memberi peluang lebih besar bagi karier Rosenfeld untuk berkembang.

Sukses pertama Rosenfeld adalah membesarkan Kool-Aid, yang lalu disusul beberapa produk yang sampai saat ini masih menjadi makanan favorit khalayak AS, seperti Jell-O. Perempuan yang juga piawai dalam olah raga ini pula yang ada di belakang sukses Orea menguasai pasar Cina dan keberhasilan Kraft mengintegrasikan Nabisco yang diakuisisi pada 2000.

Mungkin karena pendidikannya yang tinggi, Rosenfeld penuh ide baru. Ketika merasa idenya tak tersalurkan dengan baik, pada 2003 dia sempat hengkang ke Frito-Lay, perusahaan pesaing. Akan tetapi, ditawari kursi CEO pada 2006, dia lalu balik ke Kraft yang sedang gonjang-ganjing.

Dengan memangkas lapisan manajemen yang begitu tebal, merestrukturisasi kategori produk, dan membuka diri seluas-luasnya terhadap masukan dari insan Kraft di seluruh dunia, Rosenfeld berhasil membalikkan perusahaan yang dipercayakan kepadanya. Maka, ketika dipisah dari Altria (Philip Morris) pada 2007, Kraft sudah menjadi perusahaan publik yang mandiri, bahkan mampu mengakuisisi divisi biskuit dan sereal Groupe Danone senilai US$ 7,2 miliar.

Pada Januari lalu, menentang kehendak Warren Buffett, investor legendaris yang menjadi pemegang saham terbesar Kraft, Rosenfeld mencaplok Cadburry. Dan berkibarlah Kraft menjadi produsen makanan terbesar kedua di dunia, setelah Nestle. Selama pertempuran merebut Cadbury melalui hostile takeover itu, Rosenfeld melakukan kampanye media secukupnya saja. Putri pasangan Yahudi Amerika, Seymour dan Joan Blecker, ini tak mengumbar cerita, tetapi juga tidak mengabaikan insan pers. Bagai air yang dalam, di permukaan dia tenang dan di balik itu terus menggempur lawan. Ibarat kampiun tenis, dia mengambil gaya pemain idolanya, Martina Navratilova, yang mengutamakan power ketimbang permainan indah.

Kendati demikian, Rosenfeld bukanlah pribadi yang dingin. Keberhasilannya membujuk insan Kraft untuk tak segan memberi berbagai masukan menjadi bukti bahwa, di balik semangat bersaingnya yang tinggi, Rosenfeld adalah pemimpin yang persuasif.

Ketika Kundapur V. Kamath memilih Chanda Kochhar sebagai penggantinya, 1 Mei 2009, dia juga melihat dua hal tersebut, semangat bersaing tingi yang dibalut persuasi, pada diri perempuan ini. Dan Kochhar, CEO perempuan pertama (dan termuda pula) sepanjang hampir 60 tahun sejarah bisnis ICICI Bank itu, berlaku seperti yang dia harapkan: tegas, tetapi tidak dengan cara yang terlalu konfrontatif.

Di India yang budayanya paternalistis, apalagi di bisnis perbankan yang dikuasai kaum lelaki, tampilnya Kochhar di posisi puncak boleh dibilang sebuah fenomena langka. Namun, ICICI pun sebuah fenomena yang tak ada duanya. Didirikan pada 1955 atas inisiatif Bank Dunia, Pemerintah New Delhi dan beberapa industrialis, ICICI awalnya dimaksudkan menjadi bank pembangunan pertama di negara yang baru merdeka itu.

Baru, pada 1996, ketika Kamath dipercaya menjadi CEO, bank swasta yang bermarkas di Mumbai ini masuk ke perbankan ritel. Waktu itu, untuk mendapatkan talenta bagus tetapi tak kelewat mahal, ICICI sudah banyak merekrut perempuan. Bukan pencari nafkah utama, kaum Hawa ini umumnya lebih bisa menerima tingkat gaji ICICI yang tak begitu tinggi.

Jadi, untuk membuat mereka betah dan mau bekerja lebih keras membesarkan perbankan ritel yang padat karya, Kamath tinggal menciptakan lingkungan yang tidak bias gender. Dalam budaya Hindu yang kental ritual, kaum perempuan sering harus cuti untuk alasan keluarga dan baru masuk kantor kalau urusan domestik sudah beres. Kalau kita balik ke kantor dengan semangat yang tidak kendur, itu tak akan memengaruhi karier, tutur Kochhar.

Semangat Kochhar tak pernah kendur. Dipercaya memimpin bisnis ritel yang masih kedodoran pada 1998, dengan cepat MBA lulusan Jamnalal Bajaj Institute of Management Studies ini mengibarkan ICICI jadi bank ritel terakbar India dengan 15 juta nasabah dan menguasai 33% pangsa pasar, pada 2006. Akan tetapi, ketika perekonomian India melesu pada 2008, dia pula yang bersikeras mengerem pertumbuhan bisnis ritel ICICI yang sebelumnya sangat agresif.

Keteguhan Kochhar untuk mengerem pertumbuhan di saat yang diperlukan inilah  suatu hal yang mungkin sulit dilakukan sendiri oleh Kamath yang sangat bullish agaknya yang membuat kelahiran 17 November 1961 itu dipercaya menjadi CEO di masa sulit. Pertumbuhan, ujar Kochhar dengan sabar ketika didesak Forbes untuk mengakui bahwa dia telah beralih dari strategi sebelumnya yang sangat agresif, bisa berarti banyak hal. Itu bukan cuma soal menumbuhkan neraca keuangan.

Hancurnya Lehman Brother pada September tahun lalu memberi banyak pelajaran kepada Kochhar. ICICI yang dikenal agresif ditengarai asetnya banyak yang ikut hangus. Adalah pukulan berat ketika khalayak tak percaya bahwa exposure kami sebatas US$ 81 juta, ujar K. Ramkumar, salah seorang direktur. Dan hal ini menyadarkan, ada yang namanya risiko reputasi, selain risiko pasar, risiko kredit dan risiko operasional yang telah mereka kenal.

Kochhar, dengan intuisinya yang tajam sebagai seorang perempuan, telah merasakan hal ini sebelum Ramkumar dan petinggi lain yang kebanyakan lelaki sadar. Perempuan eksekutif, harus diakui, memiliki kelebihan yang sering tak dimiliki sejawatnya yang lelaki.

“Jadi demikianlah perjalanan 3 srikandi dunia menentang arus kepemimpinan dan mereka telah dapat melakukannya. Sebuah prestasi yang susah dilakukan namun dapat dilakukan.  Jadi Siapkah anda mengikuti jejak mereka?.” Em En Rizal

Tinggalkan komentar